Sebelum maut menjemput kita, selayaknya kita menjalani hidup
dengan sebaik-baiknya. Tapi, saya saat ini ingin lebih membagikan keinginan
saya, mengenai bagaimana saya pribadi ingin diperlakukan jika “saatnya” tiba. Orang-orang
penting, seperti Jacklien Kennedy Onasis, telah jauh-jauh hari mempersiapkan kematiannya,
bahkan bagaimana posisi peti dan jasadnya diperlakukan. Tapi, yang saya kagum
dan ingin teladani ialah pasangan Fitri Mardjono dan Wiedari Pangesti. Mereka
mewakafkan tubuhnya untuk kepentingan dunia medis; juga mendonorkan matanya
untuk bank mata. Tahun 2009, mereka menandatangani perjanjian dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya di hadapan notaris menyangkut niat mulia
mereka. Pada tahun 2011, sang suami, Fitri Mardjono kembali ke pangkuan ilahi.
Maka jasadnya diserahkan sang istri dan anak mereka kepada pihak Universitas.
Ada juga pasangan Soesanto dan Hana Rosilawati yang menandatangani perjanjian
yang sama. Bahkan, niat pasangan ini diikuti oleh anak-anak mereka: Debora dan
Samuel. Bahkan, di negara Wales ada peraturan bahwa mereka yang meninggal,
organ tubuhnya otomatis didonorkan. Meskipun aturan ini masih diperdebatkan
oleh warganya sendiri, saya senang jika saya menjadi warga Wales, karena tidak
perlu repot-repot mengadakan perjanjian dengan notaris.
70 tahun Indonesia ada dalam situasi kemerdekaan. Sedikit
terbayang memang, 100 tahun yang lalu kita masih ada dalam penjajahan Belanda;
tak bebas berkarya, ditindas untuk kepentingan bangsa penjajah, ada dalam
belenggu kemiskinan dan kelaparan.
Bersyukur dan berterima kasih untuk hidup di zaman
kemerdekaan ini. Tapi, apakah saya bangga menjadi orang Indonesia? Jika
perasaan bangga menyiratkan suatu keadaaan nyaman dan cukup dalam hati, maka
saya belum bangga menjadi seorang berbangsa Indonesia. Semoga ini bukan
menyangkut semata-mata nasionalisme atau perasaan kebangsaan saya. Ini tentunya
lebih menyangkut situasi dan cara pandang bangsa Indonesia seumumnya mengenai
dirinya.
Orang Indonesia sering menyatakan diri sebagai bangsa yang
berkeTuhanan, bangsa yang mendasarkan moralitas, ukuran nilai pada agama. Tapi,
sebagian mereka lupa bahwa pengalaman dijajah (oleh Portugis, Belanda-350
tahun, Jepang-3,5 tahun) semestinya membuat bangsa Indonesia peka dengan
model-model penjajahan. Pengalaman dijajah semestinya membuat kita waspada
dengan penjajahan modern yang tetap berlanjut bahkan di era kemerdekaan. Sebagian
kita mungkin bangga sebagai bangsa yang berdasar pada Ketuhanan, tapi tidak
peka pada jeritan makhluk yang juga adalah ciptaan Tuhan. Kita telah dijajah
oleh bangsa lain, tapi kita tidak menyadari bahwa kita sekarang sementara menjadi
penjajah bagi makhluk lain – sesama ciptaan Tuhan.
Mengapa bangsa lain yang tidak begitu menjunjung agama, bisa
peka dan tergerak manakala manusia menginjak-injak kehidupan hewan?
Sering saya muak dengan kebanggaan bangsa saya ini atas
nilai-nilai Ketuhanan. Mengapa? Karena mereka menyatakan bertindak atas dasar
iman akan Tuhan tapi memperlakukan ciptaan Tuhan sebagai komoditas. Lihat saja
apa yang tersedia di atas piring, di pasar-pasar entah tradisional atau modern.
Kita menemukan produk yang berasal dari pengorbanan makhluk-makhluk yang tak
bersalah. Hanya karena mereka tak berakal, kita melanjutkan model penjajahan
lain atas mereka. Inikah sosok bangsa yang berkeTuhanan? Mengapa kita kalah
beradab dari bangsa lain yang katanya telah mengesampingkan agama? Karena dalam
agama manusia memiliki tempat istimewa di mataTuhan? Inikah alasan mengapa
manusia memperlakukan hewan hingga tubuh mereka ada di rak-rak penjualan dan
paket-paket penyedap rasa?
Saya akhirnya harus maklum, semua ini diperlakukan bangsa
saya karena kita “baru” merdeka selama 70 tahun. Bangsa lain yang “lebih”
beradab, sudah merdeka lebih lama. Banyak dari warga mereka sudah bisa peka dan
lebih waspada terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Bahkan, bagi mereka kata “penjajahan” tidak hanya berlaku atas
manusia, tapi juga atas hewan. Bangsa
kita masih butuh waktu untuk sadar bahwa penjajahan dalam rupa-rupa bentuk di
atas bumi harus dihapuskan, termasuk di bumi nusantara.
Merdeka bagi bangsaku! Merdeka bagi peradaban kita semua!
Merdeka dari segala bentuk penjajahan!
There is no verse in the
bible that strictly tells us to be vegetarian nor tell us to be meat eaters. Some
tells us it’s okay to eat meat but some tells us not to do that. I can mention
Genesis 1:29-30 or Isaiah 11:6 that guide us to be vegan. But other can say
Jesus’ life that brings us to eat fish and meat.
When I began veganism, I
debated with other about veganism in the bible. Firstly, I didn’t know how to explain
contradiction in the bible about veganism vs meat-eater. I was very sure that
we mustn’t eat meat. As human we must be vegan whatever was written in the
bible. In a harsh way, I wished to tell “you eat all things; you eat
vegetables, you eat meat also; don’t you know your pork is from pig, your beef
and milk are from cow, eggs are from chickens; your meal on your plate is from sentient
beings; they were hurt before you enjoy your meal; if you can eat all things
even being, then eat also your holy bible”.
That was I wished to say,
but I didn’t. I learnt and learn. And I know that we mustn’t understand or find
veganism in the bible. There are verses support veganism and there are also
supporting meat eater. We must see the whole in the bible. I believe that in
the beginning, people were vegan. When people became meat eater God tolerated.
In the bible, people eat meat at Genesis 9:3. God said to Noah about Halal and
Haram. I am sure people could eat meat only because there were not enough vegetables. So, it was in the past. In the present and I
hope in the future also, we have and will have enough choices of vegetables to
make us healthy.
We must remember also that
some values and morality aren’t directly from bible. Example? Trinity, …… I
simply say, there are more. You can mention the other?
Oh, yeah. I can mention
the value or trust: God is love, but in Exodus 4:21 God did harden the heart of
Pharaoh so he didn’t let the Israeli go. So, Value: God is love is not just
directly from bible. It comes from the experience of believers. Value and
morality are also come from the heart of human, not only from the writing and
writer of Holy Bible. After all we did to understand veganism in the Bible,
then the best way is. . . .. . close our
eyes even our bibles, open our heart to the pain of pig, cow, goat, chicken and
all sentient beings that have to be sacrificed for our meals. Are we in the
same situation when bible was written? Must we eat meat to survive? Or just for
our stomach and tongue? Nowadays there are many and enough vegetables for us,
human, to survive and keep healthy
If you do all of them and
try again to find in bible, then eat your holy
.. . . . bible also.
Saya
banyak berjumpa dengan para pemakan daging. Bahkan sebenarnya, sebagian besar
orang di dunia ini adalah pemakan daging. Jadi, tak heranlah jika para pemakan
daginglah yang saya jumpai entah sebagai pengajar, pejabat, imam, dan
sebagainya. Dan, orang-orang itu biasanya menjalankan tugas-tugasnya dengan
baik. Mereka bahkan rela korbankan dirinya demi tugas yang diembannya.
Ketika
saya menempatkan hewan sebagai makhluk yang merasa sakit, takut, dan segala
macam perasaan ketika mereka hendak disantap manusia, saya merasa cinta dan
tanggung jawab para pemakan daging ini belum lengkap. Mereka adalah ibu yang
baik, ayah yang baik, pekerja yang baik, tapi mereka belum cukup baik untuk
hewan. Saya mengerti, mereka seperti demikian karena mereka tidak paham. Ketika
saya berusaha untuk membuka pemahaman mereka, sepertinya saya menjadi orang
yang bersemangat untuk menghadirkan rasa sakit, takut dan derita yang dialami
oleh hewan. Dan saya begitu merasa bahwa mereka perlu tahu bahwa hewan-hewan
tidak selayaknya diperlakukan demikian.
Memang,
para vegan-vegetarian belum tentu orang-orang yang baik dan sempurna dalam
mencintai. Bisa jadi mereka tidak makan hewan tapi mengorbankan manusia atas
cara tertentu. Para pemakan daging belum tentu juga orang-orang yang rakus.
Mereka memang makan daging, tapi justru siap berkorban demi sesamanya manusia.
Maka,
ketika hendak membuka pemahaman orang lain terhadap perlakuan yang selayaknya
atas hewan, kebanyakan orang tidak sampai mengerti. Mereka terlanjur merasa
bahwa perlakuan itu sudah sewajarnya dibuat oleh manusia terhadap hewan. Dari
pengalaman saya selama 5 bulan sebagai vegan (memang beberapa kali bolong
sih.....mmmh, sempat minum madu dan makan mentega, roti), saya tidak merasa ada
yang mau menjadi sama seperti saya.
Saya
tidak mau menyerah membawa pesan vegan ini. Sama seperti saya beberapa tahun
yang lalu pernah mendengar pola hidup dan rasa ini, tapi belum langsung
tergerak; demikian juga orang lain. Mereka mungkin tidak langsung menjadi vegan
karena apa yang saya katakan mengenai hewan. Tapi, pada cara selanjutnya yang
dilakukan oleh orang lain, semoga mereka bisa menjadi seperti saya.
Saya
belum menyangka akan menjadi seperti sekarang, ketika bertahun-tahun yang lalu
menerima ajakan dari seorang pemuda untuk menjadi vegetarian. Tapi 5 bulan yang
lalu, ketika saya melihat pidato dari Gary Yourofsky, saya putuskan untuk
menjadi sama dengan dia (mereka).
I
will not give up.
Tapi,
jujur. Ada saat ketika memberi penjelasan, saya menjadi seorang yang berbeda.
Biasanya saya malu, berusaha sabar dan memahami situasi orang. Tapi, ketika
memberi penjelasan saya sepertinya kehilangan kesabaran. Saya yang benar dan
mereka salah. Ada suatu kesombongan yang saya tampilkan, bukannya bela rasa. Bahkan
ada kebencian karena mereka merasa biasa saja dan berpikir sudah sepantasnya
hewan itu diperlakukan sebagai santapan bagi manusia. Jadi, isu yang saya
sampaikan, adalah isu yang kurang mendesak dibanding pengentasan kemiskinan,
pendidikan, perdagangan manusia, narkoba, PILKADA dan sebagainya. Ada juga yang
langsung membandingkan dengan Yesus. Yesus saja makan ikan, mengapa pengikutNya
tidak?
Hello,
. . . . OMG. Kalau mau buat banding-bandingan, mari kita tambah juga supaya
lebih lengkap. Yesus saja tidak menikah, mengapa kita menikah. Yesus saja
gondrong, mengapa anak-anak pria kita berambut pendek. Yesus dibaptis di sungai
Yordan di usia? . .. Mengapa kita
dibaptis di gereja di usia di bawah 1 tahun. Ingat juga! Yesus menghidupkan
orang mati dan menyembuhkan orang sakit. Kalau mau makan ikan seperti Yesus,
sekalian juga hidupkan orang mati dan sembuhkan juga orang sakit!
Dana,
thank you for your reply to my email. You quoted about doing God’s will not
mine. Your email made me reflect again, but I got new spirit again to do the
same with Gary Yourofsky. Animal liberation is not only my plan or about my
ego. Well, okay; I admit this is also about my ego. But isn’t it good to
support animal liberation whatever my basic plan? Maybe my basic goal is not
pure for animal. At least there are people who wanna help animal including me. I
have my limitations, one of them is I am not pure. But, this is ok than I don’t
do at all.
I
want you to see John 16:12. Jesus said there were still many things he should
say but people weren’t ready yet. So, now is the time. When people support issue
of animal liberation.
I
am sorry to tell about new task. You have done the good one, the inspirational
one. You support people to thank God in any situations, better or worse. But, I
think it’s important to support animal also. I tell you this because have no
channel, I have no friend in this principle. Maybe I have but not many and I
have no community. But you are famous you have network. You can contact with
Gary Yourofsky. See ADAPTT.ORG. Please, think about this value. I hope this is
not a new value. This value existed when God created human. But we, people,
have lost concern about that.
Sometimes
one said to me : Jesus himself ate fish, so why can’t we eat fish. For the
first time I heard this, I was confused I had no answer. But then I can answer now.
It’s true Jesus ate fish. But, remember Jesus raised the dead, He healed the
sick. If you wanna eat fish like Jesus, you have to raise the dead and heal the
sick also.
Kesadaran
ini tidak muncul begitu saja. Kesadaran bahwa binatang juga punya hak hidup
seperti manusia, mulai ada sejak saya kecil. Tapi, ketika itu belum ada niat
untuk mendalaminya apalagi mempraktekkannya. Kini, ketika kesadaran itu
menguat, hati ingin berseru, mengubah segala kebiasaan manusia atas binatang.
Tapi, saya tak tahu mulai dari mana.
Ketika
orang mendengar yang saya dengung dan gemakan, saya tahu pasti sebagian besar
tidak mengerti; atau, ada juga yang mengerti tapi menganggap saya ini aneh. Saya
pikir, saya harus mengambil resiko
seperti ini. Karena masih ada yang lebih keras dan konsisten dari saya. Yang
membuat saya seperti ini, adalah seorang Gary Yourofsky yang rela 13 kali
ditahan demi membela hewan. Dia sebenarnya juga rela mati demi keyakinannya. Sesuatu
yang tidak saya miliki, tapi ingin saya perjuangkan.
Ketika
orang terlanjur terbiasa menyantap hewan, padahal
pilihan lain terbenang luas, tidak mudah membuka mata dan hati mereka untuk
mengarahkannya pada hak-hak hewan. Hati manusia sudah terbiasa melihat
hewan-hewan dalam proses menuju piring untuk kemudian disantap. Ketika video
mengenai siksaan atas hewan saya tunjukkan, sebagian sedikit merasa mual, tapi
kemudian tetap melanjutkan kebiasaan makannya. Sebagian lagi merasa bahwa itu
sudah semestinya. Ada yang menyatakan bahwa di luar negeri, hewan-hewan itu
dilindungi, tapi di sini, wajar saja jika kita menyantapnya.
Saya
bingung, bagaimana menarik orang pada suatu isu mengenai nilai-nilai luhur
perlakuan bahkan hubungan manusia – hewan. Saya heran, mengapa ketika saya
melihat video Gary dan hewan, saya berubah dalam memandang hak hewan, sementara
orang lain tidak tergerak, tidak berubah dalam memahami hak hewan?
Padahal,
sangat besar kemungkinan, ketika manusia menambah perhatian dan kepeduliannya
(terhadap hewan, tidak hanya terhadap sesama dan Tuhan) manusia akan memiliki
dasar yang lebih kuat untuk peduli dan berbela rasa kepada yang lain; manusia
akan menemukan dasar yang lebih dalam untuk keluar dari diri sendiri dan tidak
egois. Ketika manusia sadar akan hak hewan dan memutuskan untuk tidak
mengorbankan hewan demi dirinya, semoga manusia juga makin sadar dan peduli
terhadap sesamanya. Bayangkanlah, ketika manusia begitu peduli kepada hewan
yang berbeda darinya, apalagi terhadap sesamanya; niscaya manusia semakin
peduli.
Memutuskan
untuk tidak lagi menyantap dan menggunakan produk hewan, memang harus dimulai
dari diri sendiri. Tapi, ketika melihat bagaimana pengorbanan hewan tetap saja
banyak, saya tidak melihat bahwa langkah saya ini banyak berpengaruh. Ikan-ikan
di laut tetap saja dipancing, dijual dan kemudian dimakan, meskipun saya tidak
memakannya. Jika saya tidak menikmati santapan dari daging dan ikan, tetap ada
orang lain yang akan menikmati dan menghabiskannya. Sia-sia sepertinya belarasa
pribadi ini.
Akankah
saya tetap tenang menyantap sayur dan buah di atas piring saya sementara saya
tahu di samping saya tetap banyak binatang yang disantap dan harus tersiksa
sebelum itu? Saya merasa tetap menjadi seorang yang egois terhadap
saudara-saudari seplanet ini. Tapi, saya tidak punya teknik dan strategi untuk
menyerukan ini. Mungkin judul tulisan ini sebenarnya voiceless of voiceless
bukannya voice of voiceless.