Senin, 17 Agustus 2015
70 tahun Indonesia ada dalam situasi kemerdekaan. Sedikit terbayang memang, 100 tahun yang lalu kita masih ada dalam penjajahan Belanda; tak bebas berkarya, ditindas untuk kepentingan bangsa penjajah, ada dalam belenggu kemiskinan dan kelaparan.
Bersyukur dan berterima kasih untuk hidup di zaman
kemerdekaan ini. Tapi, apakah saya bangga menjadi orang Indonesia? Jika
perasaan bangga menyiratkan suatu keadaaan nyaman dan cukup dalam hati, maka
saya belum bangga menjadi seorang berbangsa Indonesia. Semoga ini bukan
menyangkut semata-mata nasionalisme atau perasaan kebangsaan saya. Ini tentunya
lebih menyangkut situasi dan cara pandang bangsa Indonesia seumumnya mengenai
dirinya.
Orang Indonesia sering menyatakan diri sebagai bangsa yang
berkeTuhanan, bangsa yang mendasarkan moralitas, ukuran nilai pada agama. Tapi,
sebagian mereka lupa bahwa pengalaman dijajah (oleh Portugis, Belanda-350
tahun, Jepang-3,5 tahun) semestinya membuat bangsa Indonesia peka dengan
model-model penjajahan. Pengalaman dijajah semestinya membuat kita waspada
dengan penjajahan modern yang tetap berlanjut bahkan di era kemerdekaan. Sebagian
kita mungkin bangga sebagai bangsa yang berdasar pada Ketuhanan, tapi tidak
peka pada jeritan makhluk yang juga adalah ciptaan Tuhan. Kita telah dijajah
oleh bangsa lain, tapi kita tidak menyadari bahwa kita sekarang sementara menjadi
penjajah bagi makhluk lain – sesama ciptaan Tuhan.
Mengapa bangsa lain yang tidak begitu menjunjung agama, bisa peka dan tergerak manakala manusia menginjak-injak kehidupan hewan?
Sering saya muak dengan kebanggaan bangsa saya ini atas
nilai-nilai Ketuhanan. Mengapa? Karena mereka menyatakan bertindak atas dasar
iman akan Tuhan tapi memperlakukan ciptaan Tuhan sebagai komoditas. Lihat saja
apa yang tersedia di atas piring, di pasar-pasar entah tradisional atau modern.
Kita menemukan produk yang berasal dari pengorbanan makhluk-makhluk yang tak
bersalah. Hanya karena mereka tak berakal, kita melanjutkan model penjajahan
lain atas mereka. Inikah sosok bangsa yang berkeTuhanan? Mengapa kita kalah
beradab dari bangsa lain yang katanya telah mengesampingkan agama? Karena dalam
agama manusia memiliki tempat istimewa di mataTuhan? Inikah alasan mengapa
manusia memperlakukan hewan hingga tubuh mereka ada di rak-rak penjualan dan
paket-paket penyedap rasa?
Saya akhirnya harus maklum, semua ini diperlakukan bangsa
saya karena kita “baru” merdeka selama 70 tahun. Bangsa lain yang “lebih”
beradab, sudah merdeka lebih lama. Banyak dari warga mereka sudah bisa peka dan
lebih waspada terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Bahkan, bagi mereka kata “penjajahan” tidak hanya berlaku atas
manusia, tapi juga atas hewan. Bangsa
kita masih butuh waktu untuk sadar bahwa penjajahan dalam rupa-rupa bentuk di
atas bumi harus dihapuskan, termasuk di bumi nusantara.
Merdeka bagi bangsaku! Merdeka bagi peradaban kita semua!
Merdeka dari segala bentuk penjajahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar