Minggu, 02 Agustus 2015

Voice of Voiceless

Jumat, 31 Juli 2015

Kesadaran ini tidak muncul begitu saja. Kesadaran bahwa binatang juga punya hak hidup seperti manusia, mulai ada sejak saya kecil. Tapi, ketika itu belum ada niat untuk mendalaminya apalagi mempraktekkannya. Kini, ketika kesadaran itu menguat, hati ingin berseru, mengubah segala kebiasaan manusia atas binatang. Tapi, saya tak tahu mulai dari mana.
Ketika orang mendengar yang saya dengung dan gemakan, saya tahu pasti sebagian besar tidak mengerti; atau, ada juga yang mengerti tapi menganggap saya ini aneh. Saya pikir, saya harus  mengambil resiko seperti ini. Karena masih ada yang lebih keras dan konsisten dari saya. Yang membuat saya seperti ini, adalah seorang Gary Yourofsky yang rela 13 kali ditahan demi membela hewan. Dia sebenarnya juga rela mati demi keyakinannya. Sesuatu yang tidak saya miliki, tapi ingin saya perjuangkan.
Ketika orang terlanjur terbiasa menyantap hewan, padahal pilihan lain terbenang luas, tidak mudah membuka mata dan hati mereka untuk mengarahkannya pada hak-hak hewan. Hati manusia sudah terbiasa melihat hewan-hewan dalam proses menuju piring untuk kemudian disantap. Ketika video mengenai siksaan atas hewan saya tunjukkan, sebagian sedikit merasa mual, tapi kemudian tetap melanjutkan kebiasaan makannya. Sebagian lagi merasa bahwa itu sudah semestinya. Ada yang menyatakan bahwa di luar negeri, hewan-hewan itu dilindungi, tapi di sini, wajar saja jika kita menyantapnya.
Saya bingung, bagaimana menarik orang pada suatu isu mengenai nilai-nilai luhur perlakuan bahkan hubungan manusia – hewan. Saya heran, mengapa ketika saya melihat video Gary dan hewan, saya berubah dalam memandang hak hewan, sementara orang lain tidak tergerak, tidak berubah dalam memahami hak hewan?
Padahal, sangat besar kemungkinan, ketika manusia menambah perhatian dan kepeduliannya (terhadap hewan, tidak hanya terhadap sesama dan Tuhan) manusia akan memiliki dasar yang lebih kuat untuk peduli dan berbela rasa kepada yang lain; manusia akan menemukan dasar yang lebih dalam untuk keluar dari diri sendiri dan tidak egois. Ketika manusia sadar akan hak hewan dan memutuskan untuk tidak mengorbankan hewan demi dirinya, semoga manusia juga makin sadar dan peduli terhadap sesamanya. Bayangkanlah, ketika manusia begitu peduli kepada hewan yang berbeda darinya, apalagi terhadap sesamanya; niscaya manusia semakin peduli.
Memutuskan untuk tidak lagi menyantap dan menggunakan produk hewan, memang harus dimulai dari diri sendiri. Tapi, ketika melihat bagaimana pengorbanan hewan tetap saja banyak, saya tidak melihat bahwa langkah saya ini banyak berpengaruh. Ikan-ikan di laut tetap saja dipancing, dijual dan kemudian dimakan, meskipun saya tidak memakannya. Jika saya tidak menikmati santapan dari daging dan ikan, tetap ada orang lain yang akan menikmati dan menghabiskannya. Sia-sia sepertinya belarasa pribadi ini.
Akankah saya tetap tenang menyantap sayur dan buah di atas piring saya sementara saya tahu di samping saya tetap banyak binatang yang disantap dan harus tersiksa sebelum itu? Saya merasa tetap menjadi seorang yang egois terhadap saudara-saudari seplanet ini. Tapi, saya tidak punya teknik dan strategi untuk menyerukan ini. Mungkin judul tulisan ini sebenarnya voiceless of voiceless bukannya voice of voiceless.
Vox Populi Vox Dei,

Vox Animalium, Vox . . .  . . non auditor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar