Jumat,
31 Juli 2015
Kesadaran
ini tidak muncul begitu saja. Kesadaran bahwa binatang juga punya hak hidup
seperti manusia, mulai ada sejak saya kecil. Tapi, ketika itu belum ada niat
untuk mendalaminya apalagi mempraktekkannya. Kini, ketika kesadaran itu
menguat, hati ingin berseru, mengubah segala kebiasaan manusia atas binatang.
Tapi, saya tak tahu mulai dari mana.
Ketika
orang mendengar yang saya dengung dan gemakan, saya tahu pasti sebagian besar
tidak mengerti; atau, ada juga yang mengerti tapi menganggap saya ini aneh. Saya
pikir, saya harus mengambil resiko
seperti ini. Karena masih ada yang lebih keras dan konsisten dari saya. Yang
membuat saya seperti ini, adalah seorang Gary Yourofsky yang rela 13 kali
ditahan demi membela hewan. Dia sebenarnya juga rela mati demi keyakinannya. Sesuatu
yang tidak saya miliki, tapi ingin saya perjuangkan.
Ketika
orang terlanjur terbiasa menyantap hewan, padahal
pilihan lain terbenang luas, tidak mudah membuka mata dan hati mereka untuk
mengarahkannya pada hak-hak hewan. Hati manusia sudah terbiasa melihat
hewan-hewan dalam proses menuju piring untuk kemudian disantap. Ketika video
mengenai siksaan atas hewan saya tunjukkan, sebagian sedikit merasa mual, tapi
kemudian tetap melanjutkan kebiasaan makannya. Sebagian lagi merasa bahwa itu
sudah semestinya. Ada yang menyatakan bahwa di luar negeri, hewan-hewan itu
dilindungi, tapi di sini, wajar saja jika kita menyantapnya.
Saya
bingung, bagaimana menarik orang pada suatu isu mengenai nilai-nilai luhur
perlakuan bahkan hubungan manusia – hewan. Saya heran, mengapa ketika saya
melihat video Gary dan hewan, saya berubah dalam memandang hak hewan, sementara
orang lain tidak tergerak, tidak berubah dalam memahami hak hewan?
Padahal,
sangat besar kemungkinan, ketika manusia menambah perhatian dan kepeduliannya
(terhadap hewan, tidak hanya terhadap sesama dan Tuhan) manusia akan memiliki
dasar yang lebih kuat untuk peduli dan berbela rasa kepada yang lain; manusia
akan menemukan dasar yang lebih dalam untuk keluar dari diri sendiri dan tidak
egois. Ketika manusia sadar akan hak hewan dan memutuskan untuk tidak
mengorbankan hewan demi dirinya, semoga manusia juga makin sadar dan peduli
terhadap sesamanya. Bayangkanlah, ketika manusia begitu peduli kepada hewan
yang berbeda darinya, apalagi terhadap sesamanya; niscaya manusia semakin
peduli.
Memutuskan
untuk tidak lagi menyantap dan menggunakan produk hewan, memang harus dimulai
dari diri sendiri. Tapi, ketika melihat bagaimana pengorbanan hewan tetap saja
banyak, saya tidak melihat bahwa langkah saya ini banyak berpengaruh. Ikan-ikan
di laut tetap saja dipancing, dijual dan kemudian dimakan, meskipun saya tidak
memakannya. Jika saya tidak menikmati santapan dari daging dan ikan, tetap ada
orang lain yang akan menikmati dan menghabiskannya. Sia-sia sepertinya belarasa
pribadi ini.
Akankah
saya tetap tenang menyantap sayur dan buah di atas piring saya sementara saya
tahu di samping saya tetap banyak binatang yang disantap dan harus tersiksa
sebelum itu? Saya merasa tetap menjadi seorang yang egois terhadap
saudara-saudari seplanet ini. Tapi, saya tidak punya teknik dan strategi untuk
menyerukan ini. Mungkin judul tulisan ini sebenarnya voiceless of voiceless
bukannya voice of voiceless.
Vox
Populi Vox Dei,
Vox
Animalium, Vox . . . . . non auditor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar