Rabu, 19 Agustus 2015

Jika Kumati

Senin, 17 Agustus 2015


Sebelum maut menjemput kita, selayaknya kita menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Tapi, saya saat ini ingin lebih membagikan keinginan saya, mengenai bagaimana saya pribadi ingin diperlakukan jika “saatnya” tiba. Orang-orang penting, seperti Jacklien Kennedy Onasis, telah jauh-jauh hari mempersiapkan kematiannya, bahkan bagaimana posisi peti dan jasadnya diperlakukan. Tapi, yang saya kagum dan ingin teladani ialah pasangan Fitri Mardjono dan Wiedari Pangesti. Mereka mewakafkan tubuhnya untuk kepentingan dunia medis; juga mendonorkan matanya untuk bank mata. Tahun 2009, mereka menandatangani perjanjian dengan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya di hadapan notaris menyangkut niat mulia mereka. Pada tahun 2011, sang suami, Fitri Mardjono kembali ke pangkuan ilahi. Maka jasadnya diserahkan sang istri dan anak mereka kepada pihak Universitas. Ada juga pasangan Soesanto dan Hana Rosilawati yang menandatangani perjanjian yang sama. Bahkan, niat pasangan ini diikuti oleh anak-anak mereka: Debora dan Samuel. Bahkan, di negara Wales ada peraturan bahwa mereka yang meninggal, organ tubuhnya otomatis didonorkan. Meskipun aturan ini masih diperdebatkan oleh warganya sendiri, saya senang jika saya menjadi warga Wales, karena tidak perlu repot-repot mengadakan perjanjian dengan notaris.

 Jika saatnya tiba, saya ingin seperti mereka. 

Hari Merdeka !!!

Senin, 17 Agustus 2015

70 tahun Indonesia ada dalam situasi kemerdekaan. Sedikit terbayang memang, 100 tahun yang lalu kita masih ada dalam penjajahan Belanda; tak bebas berkarya, ditindas untuk kepentingan bangsa penjajah, ada dalam belenggu kemiskinan dan kelaparan.
Bersyukur dan berterima kasih untuk hidup di zaman kemerdekaan ini. Tapi, apakah saya bangga menjadi orang Indonesia? Jika perasaan bangga menyiratkan suatu keadaaan nyaman dan cukup dalam hati, maka saya belum bangga menjadi seorang berbangsa Indonesia. Semoga ini bukan menyangkut semata-mata nasionalisme atau perasaan kebangsaan saya. Ini tentunya lebih menyangkut situasi dan cara pandang bangsa Indonesia seumumnya mengenai dirinya.
Orang Indonesia sering menyatakan diri sebagai bangsa yang berkeTuhanan, bangsa yang mendasarkan moralitas, ukuran nilai pada agama. Tapi, sebagian mereka lupa bahwa pengalaman dijajah (oleh Portugis, Belanda-350 tahun, Jepang-3,5 tahun) semestinya membuat bangsa Indonesia peka dengan model-model penjajahan. Pengalaman dijajah semestinya membuat kita waspada dengan penjajahan modern yang tetap berlanjut bahkan di era kemerdekaan. Sebagian kita mungkin bangga sebagai bangsa yang berdasar pada Ketuhanan, tapi tidak peka pada jeritan makhluk yang juga adalah ciptaan Tuhan. Kita telah dijajah oleh bangsa lain, tapi kita tidak menyadari bahwa kita sekarang sementara menjadi penjajah bagi makhluk lain – sesama ciptaan Tuhan.


Mengapa bangsa lain yang tidak begitu menjunjung agama, bisa peka dan tergerak manakala manusia menginjak-injak kehidupan hewan?
Sering saya muak dengan kebanggaan bangsa saya ini atas nilai-nilai Ketuhanan. Mengapa? Karena mereka menyatakan bertindak atas dasar iman akan Tuhan tapi memperlakukan ciptaan Tuhan sebagai komoditas. Lihat saja apa yang tersedia di atas piring, di pasar-pasar entah tradisional atau modern. Kita menemukan produk yang berasal dari pengorbanan makhluk-makhluk yang tak bersalah. Hanya karena mereka tak berakal, kita melanjutkan model penjajahan lain atas mereka. Inikah sosok bangsa yang berkeTuhanan? Mengapa kita kalah beradab dari bangsa lain yang katanya telah mengesampingkan agama? Karena dalam agama manusia memiliki tempat istimewa di mataTuhan? Inikah alasan mengapa manusia memperlakukan hewan hingga tubuh mereka ada di rak-rak penjualan dan paket-paket penyedap rasa?
Saya akhirnya harus maklum, semua ini diperlakukan bangsa saya karena kita “baru” merdeka selama 70 tahun. Bangsa lain yang “lebih” beradab, sudah merdeka lebih lama. Banyak dari warga mereka sudah bisa peka dan lebih waspada terhadap bentuk-bentuk penjajahan. Bahkan, bagi mereka kata  “penjajahan” tidak hanya berlaku atas manusia, tapi juga atas hewan.  Bangsa kita masih butuh waktu untuk sadar bahwa penjajahan dalam rupa-rupa bentuk di atas bumi harus dihapuskan, termasuk di bumi nusantara.

Merdeka bagi bangsaku! Merdeka bagi peradaban kita semua! Merdeka dari segala bentuk penjajahan!

Jumat, 14 Agustus 2015

VEGANISM IN BIBLE

Sabtu, 15 Agustus 2015



There is no verse in the bible that strictly tells us to be vegetarian nor tell us to be meat eaters. Some tells us it’s okay to eat meat but some tells us not to do that. I can mention Genesis 1:29-30 or Isaiah 11:6 that guide us to be vegan. But other can say Jesus’ life that brings us to eat fish and meat.
When I began veganism, I debated with other about veganism in the bible. Firstly, I didn’t know how to explain contradiction in the bible about veganism vs meat-eater. I was very sure that we mustn’t eat meat. As human we must be vegan whatever was written in the bible. In a harsh way, I wished to tell “you eat all things; you eat vegetables, you eat meat also; don’t you know your pork is from pig, your beef and milk are from cow, eggs are from chickens; your meal on your plate is from sentient beings; they were hurt before you enjoy your meal; if you can eat all things even being, then eat also your holy bible”.
That was I wished to say, but I didn’t. I learnt and learn. And I know that we mustn’t understand or find veganism in the bible. There are verses support veganism and there are also supporting meat eater. We must see the whole in the bible. I believe that in the beginning, people were vegan. When people became meat eater God tolerated. In the bible, people eat meat at Genesis 9:3. God said to Noah about Halal and Haram. I am sure people could eat meat only because there were not enough vegetables. So, it was in the past. In the present and I hope in the future also, we have and will have enough choices of vegetables to make us healthy.
We must remember also that some values and morality aren’t directly from bible. Example? Trinity, …… I simply say, there are more. You can mention the other?
Oh, yeah. I can mention the value or trust: God is love, but in Exodus 4:21 God did harden the heart of Pharaoh so he didn’t let the Israeli go. So, Value: God is love is not just directly from bible. It comes from the experience of believers. Value and morality are also come from the heart of human, not only from the writing and writer of Holy Bible. After all we did to understand veganism in the Bible, then the best way is. . . .. .  close our eyes even our bibles, open our heart to the pain of pig, cow, goat, chicken and all sentient beings that have to be sacrificed for our meals. Are we in the same situation when bible was written? Must we eat meat to survive? Or just for our stomach and tongue? Nowadays there are many and enough vegetables for us, human, to survive and keep healthy

If you do all of them and try again to find in bible, then eat your holy  .. . . . bible also.

Senin, 10 Agustus 2015

PEMAKAN DAGING JUGA ORANG BAIK

Minggu, 09 Agustus 2015


Saya banyak berjumpa dengan para pemakan daging. Bahkan sebenarnya, sebagian besar orang di dunia ini adalah pemakan daging. Jadi, tak heranlah jika para pemakan daginglah yang saya jumpai entah sebagai pengajar, pejabat, imam, dan sebagainya. Dan, orang-orang itu biasanya menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Mereka bahkan rela korbankan dirinya demi tugas yang diembannya.
Ketika saya menempatkan hewan sebagai makhluk yang merasa sakit, takut, dan segala macam perasaan ketika mereka hendak disantap manusia, saya merasa cinta dan tanggung jawab para pemakan daging ini belum lengkap. Mereka adalah ibu yang baik, ayah yang baik, pekerja yang baik, tapi mereka belum cukup baik untuk hewan. Saya mengerti, mereka seperti demikian karena mereka tidak paham. Ketika saya berusaha untuk membuka pemahaman mereka, sepertinya saya menjadi orang yang bersemangat untuk menghadirkan rasa sakit, takut dan derita yang dialami oleh hewan. Dan saya begitu merasa bahwa mereka perlu tahu bahwa hewan-hewan tidak selayaknya diperlakukan demikian.
Memang, para vegan-vegetarian belum tentu orang-orang yang baik dan sempurna dalam mencintai. Bisa jadi mereka tidak makan hewan tapi mengorbankan manusia atas cara tertentu. Para pemakan daging belum tentu juga orang-orang yang rakus. Mereka memang makan daging, tapi justru siap berkorban demi sesamanya manusia.
Maka, ketika hendak membuka pemahaman orang lain terhadap perlakuan yang selayaknya atas hewan, kebanyakan orang tidak sampai mengerti. Mereka terlanjur merasa bahwa perlakuan itu sudah sewajarnya dibuat oleh manusia terhadap hewan. Dari pengalaman saya selama 5 bulan sebagai vegan (memang beberapa kali bolong sih.....mmmh, sempat minum madu dan makan mentega, roti), saya tidak merasa ada yang mau menjadi sama seperti saya.
Saya tidak mau menyerah membawa pesan vegan ini. Sama seperti saya beberapa tahun yang lalu pernah mendengar pola hidup dan rasa ini, tapi belum langsung tergerak; demikian juga orang lain. Mereka mungkin tidak langsung menjadi vegan karena apa yang saya katakan mengenai hewan. Tapi, pada cara selanjutnya yang dilakukan oleh orang lain, semoga mereka bisa menjadi seperti saya.
Saya belum menyangka akan menjadi seperti sekarang, ketika bertahun-tahun yang lalu menerima ajakan dari seorang pemuda untuk menjadi vegetarian. Tapi 5 bulan yang lalu, ketika saya melihat pidato dari Gary Yourofsky, saya putuskan untuk menjadi sama dengan dia (mereka).

I will not give up.


Tapi, jujur. Ada saat ketika memberi penjelasan, saya menjadi seorang yang berbeda. Biasanya saya malu, berusaha sabar dan memahami situasi orang. Tapi, ketika memberi penjelasan saya sepertinya kehilangan kesabaran. Saya yang benar dan mereka salah. Ada suatu kesombongan yang saya tampilkan, bukannya bela rasa. Bahkan ada kebencian karena mereka merasa biasa saja dan berpikir sudah sepantasnya hewan itu diperlakukan sebagai santapan bagi manusia. Jadi, isu yang saya sampaikan, adalah isu yang kurang mendesak dibanding pengentasan kemiskinan, pendidikan, perdagangan manusia, narkoba, PILKADA dan sebagainya. Ada juga yang langsung membandingkan dengan Yesus. Yesus saja makan ikan, mengapa pengikutNya tidak?

Hello, . . . . OMG. Kalau mau buat banding-bandingan, mari kita tambah juga supaya lebih lengkap. Yesus saja tidak menikah, mengapa kita menikah. Yesus saja gondrong, mengapa anak-anak pria kita berambut pendek. Yesus dibaptis di sungai Yordan di usia? . ..  Mengapa kita dibaptis di gereja di usia di bawah 1 tahun. Ingat juga! Yesus menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit. Kalau mau makan ikan seperti Yesus, sekalian juga hidupkan orang mati dan sembuhkan juga orang sakit!

Minggu, 02 Agustus 2015

Nick Vujicic, Please Pay Attention to Animal Liberation?

Sabtu, 1 Agustus 2015

Dana, thank you for your reply to my email. You quoted about doing God’s will not mine. Your email made me reflect again, but I got new spirit again to do the same with Gary Yourofsky. Animal liberation is not only my plan or about my ego. Well, okay; I admit this is also about my ego. But isn’t it good to support animal liberation whatever my basic plan? Maybe my basic goal is not pure for animal. At least there are people who wanna help animal including me. I have my limitations, one of them is I am not pure. But, this is ok than I don’t do at all.
I want you to see John 16:12. Jesus said there were still many things he should say but people weren’t ready yet. So, now is the time. When people support issue of animal liberation.
I am sorry to tell about new task. You have done the good one, the inspirational one. You support people to thank God in any situations, better or worse. But, I think it’s important to support animal also. I tell you this because have no channel, I have no friend in this principle. Maybe I have but not many and I have no community. But you are famous you have network. You can contact with Gary Yourofsky. See ADAPTT.ORG. Please, think about this value. I hope this is not a new value. This value existed when God created human. But we, people, have lost concern about that.

Sometimes one said to me : Jesus himself ate fish, so why can’t we eat fish. For the first time I heard this, I was confused I had no answer. But then I can answer now. It’s true Jesus ate fish. But, remember Jesus raised the dead, He healed the sick. If you wanna eat fish like Jesus, you have to raise the dead and heal the sick also. 

Voice of Voiceless

Jumat, 31 Juli 2015

Kesadaran ini tidak muncul begitu saja. Kesadaran bahwa binatang juga punya hak hidup seperti manusia, mulai ada sejak saya kecil. Tapi, ketika itu belum ada niat untuk mendalaminya apalagi mempraktekkannya. Kini, ketika kesadaran itu menguat, hati ingin berseru, mengubah segala kebiasaan manusia atas binatang. Tapi, saya tak tahu mulai dari mana.
Ketika orang mendengar yang saya dengung dan gemakan, saya tahu pasti sebagian besar tidak mengerti; atau, ada juga yang mengerti tapi menganggap saya ini aneh. Saya pikir, saya harus  mengambil resiko seperti ini. Karena masih ada yang lebih keras dan konsisten dari saya. Yang membuat saya seperti ini, adalah seorang Gary Yourofsky yang rela 13 kali ditahan demi membela hewan. Dia sebenarnya juga rela mati demi keyakinannya. Sesuatu yang tidak saya miliki, tapi ingin saya perjuangkan.
Ketika orang terlanjur terbiasa menyantap hewan, padahal pilihan lain terbenang luas, tidak mudah membuka mata dan hati mereka untuk mengarahkannya pada hak-hak hewan. Hati manusia sudah terbiasa melihat hewan-hewan dalam proses menuju piring untuk kemudian disantap. Ketika video mengenai siksaan atas hewan saya tunjukkan, sebagian sedikit merasa mual, tapi kemudian tetap melanjutkan kebiasaan makannya. Sebagian lagi merasa bahwa itu sudah semestinya. Ada yang menyatakan bahwa di luar negeri, hewan-hewan itu dilindungi, tapi di sini, wajar saja jika kita menyantapnya.
Saya bingung, bagaimana menarik orang pada suatu isu mengenai nilai-nilai luhur perlakuan bahkan hubungan manusia – hewan. Saya heran, mengapa ketika saya melihat video Gary dan hewan, saya berubah dalam memandang hak hewan, sementara orang lain tidak tergerak, tidak berubah dalam memahami hak hewan?
Padahal, sangat besar kemungkinan, ketika manusia menambah perhatian dan kepeduliannya (terhadap hewan, tidak hanya terhadap sesama dan Tuhan) manusia akan memiliki dasar yang lebih kuat untuk peduli dan berbela rasa kepada yang lain; manusia akan menemukan dasar yang lebih dalam untuk keluar dari diri sendiri dan tidak egois. Ketika manusia sadar akan hak hewan dan memutuskan untuk tidak mengorbankan hewan demi dirinya, semoga manusia juga makin sadar dan peduli terhadap sesamanya. Bayangkanlah, ketika manusia begitu peduli kepada hewan yang berbeda darinya, apalagi terhadap sesamanya; niscaya manusia semakin peduli.
Memutuskan untuk tidak lagi menyantap dan menggunakan produk hewan, memang harus dimulai dari diri sendiri. Tapi, ketika melihat bagaimana pengorbanan hewan tetap saja banyak, saya tidak melihat bahwa langkah saya ini banyak berpengaruh. Ikan-ikan di laut tetap saja dipancing, dijual dan kemudian dimakan, meskipun saya tidak memakannya. Jika saya tidak menikmati santapan dari daging dan ikan, tetap ada orang lain yang akan menikmati dan menghabiskannya. Sia-sia sepertinya belarasa pribadi ini.
Akankah saya tetap tenang menyantap sayur dan buah di atas piring saya sementara saya tahu di samping saya tetap banyak binatang yang disantap dan harus tersiksa sebelum itu? Saya merasa tetap menjadi seorang yang egois terhadap saudara-saudari seplanet ini. Tapi, saya tidak punya teknik dan strategi untuk menyerukan ini. Mungkin judul tulisan ini sebenarnya voiceless of voiceless bukannya voice of voiceless.
Vox Populi Vox Dei,

Vox Animalium, Vox . . .  . . non auditor